Kejati Jateng Dapat Apresiasi Anggota DPD RI, Selesaikan 53 Perkara melalui Restorative Justice
SEMARANG (Awal.id) – Keberhasilan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah (Kejati Jateng) untuk menyelesaikan 53 perkara hukum di wilayah dengan restorative justice mendapat apresiasi Anggota DPD RI perwakilan Jawa Tengah Dr Abdul Kholik.
Penuntasan 53 perkara dalam kurun waktu dua tahun dan pendirian rumah restorasi di kabupaten/kota di Jawa Tengah dinilai Abdul Kholik sebagai suatu prestasi yang membanggakan dalam upaya penegakan hukum dan penyelesaian perkara dengan cepat, murah dan tidak berbelit-belit.
“Sudah ada 15 rumah restorative justice di tingkat kabupaten/kota yang tersebar di wilayah Jawa Tengah. Keberadaan rumah restorative justice ini bisa mendorong upaya penyelesaian perkara melalui metode restoratif sesegera mungkin di Kejaksaan. Yang imbasnya tentu saja bisa mengurangi over capacity lembaga pemasyarakatan yang ada,” paparnya.
Abdul Kholik mengaku kedatangannya ke Kejati Jateng untuk mengonfirmasi penerapan restorative justice yang akan dijadikan sebagai bahan rancangan undang-undang yang berlaku secara nasional. “Kalau ada payung hukum, penerapan restorative justice akan semakin kuat,” paparnya.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Andi Herman membenarkan jajarannya telah mampu menyelesaikan 53 perkara dengan cara restorative justice.
“Pada dasarnya kinerja Kejaksaan untuk memulihkan kehidupan sosial yang harmonis. Karena itulah tujuan restorasi, yakni memulihkan dari kondisi bermasalah menjadi tidak ada masalah. Menjadikan kehidupan sosial kembali normal setelah tergores oleh tindakan pelaku kriminal,” kata Kajati Jateng, Andi Herman kepada wartawan usai menerima senator Jateng Abdul Kholik di Kantor Kejati Jateng, Jl Pahlawan, Semarang, Selasa (19/4).
Menurut Andi Herman, keberhasilan penyelesaian perkara hukum model restorative justice tak lain adalah kepedulian korban dan keluarganya. Dengan mendapat maaf dari korban dan keluarganya, pelaku bisa dibebaskan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan secara hukum.
Selain itu, sambung Kajati, ada syarat lain yang harus dipenuhi pelaku untuk mendapatkan restorative justice, yakni perbuatan itu merupakan kali pertama dilakukannya, dan pelaku tanpa kesengajaan melakukan tindak criminal tersebut.
“Jadi, pelanggaran hukum terjadi sesaat akibat adanya tekanan ataupun himpitan keadaan. Syarat lain, pelaku pun bersih dari stigma negatif sebagai narapidana,” tuturnya.
Herman mengatakan kebijakan restorasi justice ini sudah lama dipraktekkan di dalam masyarakat sejak para orang tua terdahulu. Semua perkara diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat, yang intinya tidak ada lagi konflik karena konflik dinyatakan pihak terkait termasuk masyarakat setempat, sudah selesai.
Kajati merinci dari penyelesaian 53 perkara tersebut, ada yang dilakukan secara daring dan ada pula yang diselesaikan dengan tatap muka, tergantung situasinya. Bahkan kejaksaan juga menjemput bola, mendatangi kediaman pihak-pihak yang terkait dengan upaya penyelesaian perkara tersebut seperti mendatangi rumah saksi maupun tersangka. Tak heran kalau Kejati Jawa Tengah secara keseluruhan sudah melampaui target penyelesaian perkara yang diharapkan. (*)