Jampidum Setujui Enam Permohonan Keadilan Restoratif

JAKARTA (Awal.id) – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Dr Fadil Zumhana menyetujui enam permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

Ekspose dilakukan secara virtual yang dihadiri oleh Jampidum Dr Fadil Zumhana, Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Agnes Triani SH MH, Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, Kepala Kejaksaan Tinggi, Kepala Kejaksaan Negeri, dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri yang mengajukan permohonan restorative justice serta Kasubdit dan Kasi Wilayah di Direktorat TP Oharda.

Kepala Penerangan Hukum Kejagung Dr Ketut Sumedana SH MH merinci enam berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif.

  1. Tersangka Joko Aminoto Zebua alias Joko Zebua alias Pak Iqbal dari dari Kejaksaan Negeri Sibolga yang disangka melanggar pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  2. Tersangka Marlena Br Tarigan dari Cabang Kejaksaan Negeri Karo di Tigabinanga yang disangka melanggar pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  3. Tersangka Ranto Togi Sihombing dari Kejaksaan Negeri Humbang Hasundutan yang disangka melanggar pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  4. Tersangka Asmad bin Mat Karel dari Kejaksaan Negeri Bangka Selatan yang disangka melanggar pasal 44 ayat (1) UU RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
  5. Tersangka Mas’at alias AAT bin dari Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Tengah yang disangka melanggar pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  6. Tersangka Margono alias Gono bin Samidi (alm) dari Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara yang disangka melanggar pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Baca Juga:  Indispliner, PSIS Coret Nerius Alom

Ketut menjelaskan alasan Kejagung memberikan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini, antara lain:

  • Telah dilaksanakan proses perdamaian, di mana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
  • Tersangka belum pernah dihukum;
  • Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
  • Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
  • Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
  • Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi;
  • Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
  • Pertimbangan sosiologis;
  • Masyarakat merespon positif;
Baca Juga:  KTNA Kabupaten Semarang Gelar Expo, Ferry: Pemerintah Perlu Fasilitasi Kreativitas Kelompok Petani dan Nelayan

Selanjutnya, Jampidum memerintahkan kepada para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif, sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (*)

Sharing:

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *