Pengelola Rescue Kucing Ajak Mediasi 4 Warga Pemrotes, Siapkan Jalur Hukum Jika Musyawarah Gagal

SEMARANG (Awal.id) – Agustin Veronica, Pengelola Rumah Rescue Kucing (RRK) atau Rumah Kucing di Jalan Tlogomukti Timur, Kelurahan Tlogosari Kulon, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang, akan melakukan upaya mediasi dengan empat tetangganya yang memprotes keberadaan tempat penampungan kucing liar miliknya.
Jika upaya mediasi untuk mencari solusi secara musyawarah gagal, Vero sapaan akrab Agustin Veronica, akan menempuh jalur hukum. Untuk keperluan tersebut, Vero sudah menunjuk DPD Lembaga Aliansi Indonesia (LAI) Jawa Tengah sebagai kuasanya.
“Kami upayakan mediasi dulu dengan 4 warga yang memprotes Rumah Kucing saya. Kami ingin tahu secara persis apa yang menjadi keberatan mereka yang meminta saya untuk menutup Rumah Kucing saya,” kata Vero kepada wartawan di Kantor DPD LAI Jateng, Jl Soekarno-Hata No 176 Semarang, Kamis (21/10).
Pada kunjungannya ke kantor DPD LAI Jateng, Vero didamping suaminya, Agung Martadi dan Pendiri Rumah Singgah Clow Wahyu ’Bimbim’ Winono. Mereka diterima Ketua DPD LAI Jateng Yoyok Sakirman, dan Seretaris DPD LAI Jateng Bambang Sartono.
Sebelumnya, empat orang warga Jalan Tlogomukti Selatan RT 02 RW 26 yang menjadi tetangganya memprotes keberadaan rumah kucing yang dikelola Vero dan Agung Martadi lantaran dinilai telah menimbulkan polusi bau di lingkungan sekitar.
Setiap pagi, mereka mencium bau menyengat dari kotoran kucing-kucing peliharaan pasangan suami istri tersebut. Polusi bau ini sempat dilaporkan ke RT, RW, camat hingga diadukan ke aplikasi Lapor Hendi. Namun, pengaduan mereka tidak membuahkan hasil. Karena pihak pengelola sudah mengantongi izin dari sejumlah intansi terkait.
Agung Martadi mengatakan dasar keberatan empat tetangganya atas keberadaan rumah kucingnya tidak masuk akal. Jika alasannya soal bau, misalnya, pihak setiap hari selalu membersihkan kotoran kucing.
“Semua kotoran sebelum dibuang ke TPA, kami bersihkan dulu. Kami juga menggunakan pasir wangi untuk menampung kotoran kucing. Bahkan, di dalam rumah kucing kami, sudah kami pasang dua alat penghisap bau,” ujarnya.
Soal perizinan rumah kucing, lanjut Agung, pihaknya sudah meminta izin kepada lingkungan setempat, baik tingkat RT, RW, kelurahan hingga kecamatan. Bahkan, izin usaha mikro kecil dari Pemerintah Republik Indonesia untuk pembibiotan dan budidaya ternak sudah dikantonginya.
Demikian pula izin dari Clow (Cat Lover In The Word) suatu organisasi penyelemat hewan terlantar, khususnya kucing, sudah mereka peroleh dengan dikuatkan dengan SK Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia pada tahun 2018.
“Semua persyaratan pendirian rumah kucing sudah kami dapatkan dari instansi terkait. Kalau mereka (4 orang pemrotes) masih mempersoalkan rumah kucing saya, kami siap untuk menempuhkan masalah ini ke jalur hukum,” katanya.

Agustin Veronica dengan kasih sayang menggendong kucing buntung yang dipelihara di rumah kucing miliknya
Batas Kewajaran
Pendiri Rumah Singgah Clow, Bimbim juga mempertanyakan alasan yang menjadi dasar keberatan dari empat tetangga pengelola rumah kucing di wilayah Tologosari Kulon tersebut.
“Kalau persoalan bau, pasti kotoran semua hewan menimbulkan bau. Tapi, bau kotoran kucing dari rumah kucing kan setiap hari dibersihkan. Malah saya dengar Bu Vero memperkerjakan empat karyawan untuk mengurus semua kucing yang dipeliharanya, termasuk membersihkan kotoran setiap harinya,” kata Bimbing.
Dari segi jumlah kucing yang dipelihara di rescue kucing milik Vero, Bimbim menilai masih dalam batas kewajaran. “Dari luas lahan sebesar 60 m2, kalau untuk memelihara 46 kucing masih sedikit. Dengan luas bangunan itu, maksimal bisa menampung 100 ekor kucing,” paparnya.
Bimbim menilai apa yang dilakukan Vero dan suaminya, Agung Martadi seharusnya menarik simpati masyarakat luas. Pasalnya, kucing-kucing yang dipelihara mereka di rumah kucing bukan untuk diternakkan.
“Mereka (Vero dan Agung) justru menyelamatkan kucing liar yang disia-siakan orang, ditendang-tendang, dan dibuang ke pasar sampai kelaparan atau terluka akibat penyiksaan,” kata Bimbim menunjuk salah satu kucing yang kaki ’hilang’ akibat tindakan kekerasan selama berkiliaran di jalanan.
Ketua DPD LAI Jateng Yoyok Sakiran mengaku siap untuk memberi perlindungan hukum kepada Vero dan suaminya, Agung Martadi jika kasus ini sampai ke ranah hukum.
“Kami siap membantu masalah hukum klien saya. Tindakan mereka semestikan mendapat respon positif dari masyarakat, bukan sebaliknya, tindakan mereka diprotes, disuruh menutup rumah kucing. Pengelola rumah kucing kan penyayang binatang, bukan mencari keuntungan. Sebab, kucing dimasukkan rumah kucing bukan untuk diternakkan, melainkan kucing liar yang diselamatkan akibat luka atau kelaparan di jalanan,” kata Yoyok.
Sementara itu, Henry Apriyatno, salah seorang tetangga Vero, mengatakan tidak mempersoalkan keberadaan rumah kucing yang berada di dekat rumahnya.
Dia menjelaskan keberatan soal bau yang ditimbulkan oleh kotoran kucing di rumah kucing milik Vero tidak berdasar. “Lihat saja, tempat ini bersih. Pemilik rumah selalu memberikan kandang dan kotoran kucing setiap hari. Untuk menghilangkan bau, Vero juga sudah memasang dua alat menghisap bau,” kata Henry. (*)