Kasus Dugaan Korupsi BPR Salatiga, Kejati Jateng Tetapkan Tiga Tersangka

SEMARANG (Awal.id) – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan penyimpangan pengelolaan dana nasabah BPR Bank Salatiga senilai Rp 24,7 miliar.
Dua dari tiga tersangka merupakan Direktur BPR Salatiga, yakni DW dan TR. Sedangkan seorang tersangka lagi, yakni SN, merupakan Satuan Pengawas Internal bank tersebut.
Asisten Intelijen Kejati Jateng Emilwan Ridwan menjelaskan, penetapan tersangka dilakukan usai penyidik memeriksa 48 saksi. Dari keterangan saksi yang terdiri 28 nasabah dan 18 orang pihak bank, penyidik menyimpulkan ketiga tersangka memiliki peran besar atas raibnya dana nasabah BPR Bank Salatiga sebesat Rp 24,7 miliar.
“Peran para tersangka ini memanfaatkan situasi. Jadi saat ada dana nasabah yang hilang, ditutup-tutupi, dan itu tidak tercatat dalam sistem perbankan,” ujar Emilwan, Jumat (7/5).

Asisten Intelijen Kejati Jateng Emilwan Ridwan saat memberikan keterangan kepada wartawan.
Menurut Emilwan, masing-masing tersangka berperan aktif melakukan penyimpangan dana nasabah. Kejati akan terus mendalami kasus ini, termasuk mendata aset-aset yang dimiliki tersangka.
“Ini bagian dari upaya pengembalian kerugian keuangan negara, karena nominalnya memang cukup besar,” ungkap Emilwan.
Atas tindakan tersebut, Kejati Jateng akan menjerat para tersangka atas pelanggaran pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 KUHP, serta pasal 3 jo pasal 18 pada undang-undang yang sama.
Seperti diketahui, penyimpangan dana nasabah BPR Salatiga diduga berlangsung selama 2008 hingga 2018. Pada kurun waktu itu terdapat penerimaan dan penarikan dana nasabah di luar sistem perbankan BPR Salatiga.
Akibatnya terjadi selisih saldo simpanan pada 28 nasabah dengan total Rp 24,07 miliar. Artinya, jumlah saldo yang tercatat di bank lebih kecil dari saldo yang seharusnya. Nominal di atas merupakan akumulasi dana nasabah yang disalahgunakan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. (*)