Tentang Biaya Haji, Anggota DPRD Jateng Umar: Katering Jamaah Haji Diganti Uang Tunai Lebih Efisien
SEMARANG (Awal.id) – Adanya usulan terkait kenaikan biaya haji sebesar Rp 69 juta dirasa kurang relevan jika dilihat rata-rata kemampuan ekonomi jemaah haji saat ini. Masyarakat di tingkat bawah pun mengeluhkan hal itu, termasuk calon haji di wilayah Jawa Tengah.
Anggota Komisi E DPRD Jateng dr Umar Utoyo mengatakan dari hasil turun ke bawah, masyarakat Jateng khususnya di pantai utara barat (Brebes-Tegal) juga mengeluhkan wacana kenaikan biaya haji.
Dia juga meminta agar komponen biaya haji ditinjau ulang. Khusus katering misalnya jika diberikan secara cash maka akan menekan biaya.
Selain itu, jemaah akan lebih nyaman untuk memilih menu sesukanya dan makan sesuai kebutuhan termasuk bisa membawa lauk yang tahan lama dari rumah sesuai selera misalnya sambel, rendang, serundeng dan sebagainya.
Usulan uang sekali makan 18,5 real dinilai terlalu tinggi bahkan ugal-ugalan. ‘’Jangan aji mumpung kegiatan haji untuk mengeruk keuntungan pihak-pihak tertentu,’’ tegas wakil rakyat dari Fraksi Partai Gerindra itu.
Dengan diterimakan cash, kata Umar, bisa menghindari praktek korupsi.
‘’Bayangkan jika sekali makan bisa cukup 10 real kenapa usulan sampai 18,5 real. Sehari makan tiga kali dan sebanyak 200 ribu lebih jemaah, berapa itu keuntungan yang diraup,’’ katanya dengan nada bertanya.
Selanjutnya, dari tokoh masyarakat H Maskuri, yang sudah beberapa kali menunaikan ibadah haji dan umrah mengatakan, ketimbang menaikkan Ongkos Naik Haji (ONH) yang memberatkan lebih baik pemerintah mengkaji komponen yang sekiranya bisa ditekan, misalnya biaya katering dia mengusulkan agar diterimakan dalam bentuk uang cash sehingga lebih fleksibel.
‘’Dengan uang cash jemaah bisa memiliih menu sesukanya karena sering makanan yang disajikan oleh katering tidak sesuai selera Jemaah,’’ kata tokoh NU Demak itu.
Dia menyebutkan sekali makan di Tanah Suci dengan uang 10 real sudah cukup. Anehnya, info yang berkembang saat ini Kementerian Agama mengusulkan 18.5 real.
Bagi jemaah yang terbiasa puasa Senin-Kamis, lanjut Maskuri, mereka bisa mengirit uang saku untuk makan, padahal kalau ditangani katering pasti sudah diplot anggarannya, yang tentu sangat besar.
Hal senada diungkapkan H Jumari, warga Kalijambe Sragen. Dia mengaku tak setuju jika biaya haji dinaikkan. Apalagi kondisi masyarakat kita termasuk calon jemaah haji baru terpuruk pasca pandemi.
‘’Jangan anggap semua jemaah haji orang kaya. Mereka bisa mendaftar karena menabung, ada yang jual sapi, kerbau bahkan jual tanah,’’ katanya.
Untuk menekan biaya haji, dia juga sependapat uang katering diberikan kepada jemaah secara cash lebih simple.
‘’Kalau lewat katering pasti ditangani rekanan dan orientasinya keuntungan sehingga komponen biaya haji bisa membengkak,’’ tambahnya.
Sebelumnya, pakar kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah meminta agar Kemenag meninjau ulang terkait usulan kenaikan ongkos naik haji sebesar Rp 69 juta. Lebih baik Pemerintah mengevaluasi sejumlah komponen yang ditangani oleh rekanan seperti transportasi udara, hotel dan katering.