Ferry Ajak Masyarakat Jateng Lestarikan Batik
SEMARANG (Awal.id) – Ketua DPRD Jateng Ferry Wawan Cahyono mendukung upaya pelestarian batik yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota dan kalangan pengusaha maupun pencinta batik. Pelestarian batik yang menjadi warisan budaya leluhur, berupa kirab batik, pameran dan peragaan busana perlu mendapat dukungan masyarakat agar batik yang menjadi ikon nasional tidak punah atau luntur diterpa arus kemajuan globalisasi.
“Pelestarian batik harus kita gaungkan secara gencar. Batik tidak hanya warisan budaya nenek moyang, tapi batik kini telah menjadi identitas nasional bagi rakyat dan bangsa Indonesia,” kata Ferry di Semarang, Senin (20/6).
Politikus dari Partai Golongan Karya (Golkar) Jateng ini mengapresiasi kegiatan Kirab Batik Tulis Lasem, Rembang, untuk memperingati Hari Jadi ke-1.140 Kota Lasem. Lasem saat ini menjadi kota kedua terbesar, di Kabupaten Rembang setelah Kota Rembang.
Ratusan peserta Kirab Batik Tulis Lasem dengan mengenakan batik khas Lasem, seperti Burung Hong, Liong (naga), Gunung Ringgit dan Kricak (batu pecah), baju adat kanung, pakaian kebaya kombinasi batik tulis, dengan bangga mengikuti kirab dengan berjalan kaki dari perempatan Jolotundo hingga perempatan lampu merah Lasem.
Ferry juga mengaku ikut merasakan kebanggaan masyarakat Lasem yang telah mampu menunjukkan karya-karya batik yang menjadi ciri khas daerah mereka.
“Pertahanan dan lestarikan Batik Lasem yang sudah melegenda dan menjadi warisan budaya nenek moyang yang kini menjadi ikon nasional,” pintanya.
Ferry mengajak masyarakat Jateng agar tidak malu untuk mengenakkan batik yang menjadi peninggalan leluhur mereka. Sebaliknya, generasi muda sebagai penerus bangsa dituntut untuk melestarikan dan terus menggaungkan batik sebagai ikon bangsa dan negara Indonesia.
Dengan berbagai sentuhan inovasi, Ferry meyakini batik yang menjadi warisan budaya leluhur itu tak lagi memiliki imej kuno. Melalui menerapan inspirasi baru kalangan penyinta batik, corak batik bisa dikembangkan dan disulap para desainer, sehingga tren berbusana yang lebih modern dan bisa diterima kalangan penikmat mode.
Dia mengakui keberadaan batik tulis klasik belum digarapkan secara maksimal oleh sebagian besar pengrajin batik. Perajin batik besar banyak beralih dengan menggunakan alat modern untuk memproduksi batik, sehingga menghasilkan batik cap maupun printing.
Namun, Ferry menyakini batik tulis klasik tidak mungkin punah. Sebab, banyak orang Jawa yang masih membutuhkan batik tersebut. Batik tulis klasik masih dipergunakan pada saat acara adat, seperti baju pengantin, seragam kantor, seragam sanggar seni dan berbagai acara hajatan lainnya.
Legislator asal daerah pemilihan Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Kebumen memaparkan Jawa Tengah memiliki berapa motif batik. Motif-motif batik asal Jateng ini, kawung, parang, truntum, sidomukti, satrio manah, semen rante dan sawat.
“Ragam hiasa batik asal Jateng, semua bersifat naturalis. Objeknya, berupa kenampakan alam, seperti tumbuhan, burung, pegunungan, batu, dan pohon-pohon,” paparnya.
Ferry menjelaskan ragam hias bati Jawa Tengah ini sangat dipengaruhi berbagai kebudayaan di luar provinsi ini maupun asing. Warna-warna yang dipakai tampak lebih cerah bila dibandingkan dengan daerah Jawa lainnya. Motif yang dihasilkan banyak terinsiparsi dari alam.
Motif atau corak batik ini, sambung Ferry, bisa dijadikan pedoman bagi pecinta batik untuk membedakan dan mengenal asal daerah pembuat batik tersebut.
Di Jateng sendiri, terdapat motif batik unik dan variatif yang menjadi ciri khas masing-masing daerah. Batik khas Jepara, misalnya, lebih menonjolkan motif batik daun ulir. Kemudian, batik khas Solo lebih banyak bermotifkan kawung atau ceplokan.
“Sedang batik khas Jogya lebih didominasi batik Parang Kusumo. Sementara, ada juga batik khas Pekolangan bermotifkan semen,” paparnya.
Ferry menambahkan sebagian besar tren berbusana batik sekarang ini masih mengacu jaman dahulu. Pengenaian busana masih menjadi tetenger atau tanda terhadap kualitas, derajat dari sang pemakainya.
Pada acara adat, kain jarik yang memiliki beragam corak di Jateng mempunyai makna sebagai penunjuk tingkatan hidup. “Jika kainnya halus dan bagus corak, jarik yang dikenakan pengantin pria atau wanita, maupun tamu undangan, secara tidak langsung bisa menunjukkan derajat pemakainya,” tandas Ferry. (adv/anf)