Hendi Pastikan Dugderan Digelar Tanpa Perayaan, Antisipasi Penularan Covid-19

Dugderan yang menjadi tradisi masyarakat Semarang untuk menyambut datangnya Bulan Ramadan kembali dilaksanakan tanpa arak-arakan.
Dugderan yang menjadi tradisi masyarakat Semarang untuk menyambut datangnya Bulan Ramadan kembali dilaksanakan tanpa arak-arakan.

SEMARANG (Awal.id) – Menjelang bulan Ramadan tahun ini, tradisi Dugderan akan kembali digelar ,namun tanpa keramaian seperti tahun lalu. Tradisi Dugderan kali ini tidak ada pawai mau pun arak-arakan Warak Ngendhog, seperti yang sebelum pandemi virus Covid-19 melanda.

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, memastikan perayaan penyambutan bulan Ramadan di Kota Semarang, atau dikenal dengan Dugderan tetap diadakan walaupun masih dalam masa pandemi Covid-19. Pesta Dugderan tahun ini akan dilaksanakan dengan protokol kesehatan ketat.

Pria yang akrab disapa Hendi itu mengatakan Dugderan yang sudah beratus tahun menjadi tradisi warga Semarang tak boleh dihilangkan, tapi acaranya harus menyesuaikan aturan pemerintah mengenai Covid-19.

“Dugderan prosesnya tetap harus berjalan, karena ini tradisi ya kita nggak akan melupakan. Hanya saja modelnya harus kita ringkas supaya tidak melibatkan banyak orang, satu misalnya arak-arakannya nggak perlu, tapi tetap pusat perayaannya ada di Masjid Kauman menemui para yai (para kiai, jawa- red) supaya menyampaikan bahwa sebentar lagi tiba bulan Ramadan, itu esensinya,” ujar Hendi, di Semarang, Senin (22/3/2021).

Baca Juga:  Ganjar-Mahfud Yakin KPU Jadi Wasit yang Netral

Hendi mengatakan jika acara Dugderan berada di dalam ruangan, maka kapasitasnya harus tidak lebih dari 100 orang.

“Kalau untuk Dugderan di Balaikota semisal ada nanti tetap perencanaan kita tidak lebih dari 100 orang. Intinya kita tetap desain kemeriahan Ramadan itu ada tapi prosesinya nggak perlu dibesar-besarkan,” ungkapnya.

Terkait kebijakan untuk kegiatan di Bulan Ramadan, Hendi mengatakan tidak ada kebijakan baru. Dia hanya berpesan agar kebijakan pencegahan penularan Covid-19 yang sudah berjalan untuk tetap ditaati.

Baca Juga:  Kejagung Periksa 2 Saksi untuk Dalami Kasus Korupsi LPEI

“Terkait kebijakan di bulan Ramadan, terutama tarawih, tetap menggunakan kebijakan yang sudah berjalan seperti kapasitas masjid atau musala hanya diisi 50 persen. Dan silakan membuat tenda atau tratag di halaman tempat ibadah,” paparnya.

Hendi juga berharap saat waktu mudik nanti agar setiap keluarga yang mudik mematuhi protokol kesehatan.

“Kalau mudik itu jelas kita nggak bisa membatasi ya, tapi kami mengimbau agar masyarakat yang mudik nanti jangan terlalu berjubel di dalam kendaraan serta seperlunya saja,” ujarnya.

“Jadi intinya, pandemi covid-19 belum selesai, jadi kita harus bisa menjaga diri kita dan keluarga kita masing-masing,” pungkasnya.

Untuk diketahui, Dugderan biasanya menjadi tradisi yang semakin berjalannya waktu diwarnai dengan pawai dan arak-arakan yang meriah serta menghibur.

Pawai biasanya diawali penabuhan beduk di Balai Kota oleh Wali Kota yang berperan sebagai Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Arya Purbaningrat.

Baca Juga:  Mantan Ketua KONI Sumsel Ditahan Terkait Korupsi Pencairan Deposito & Dana Hibah

Peserta pawai berasal lintas agama dan biasanya membawa arak-arakan Warak Ngendhog. Warak merupakan hewan fantasi yang menyimbolkan kerukunan etnis di Ibu Kota Jawa Tengah itu. Hal tersebut terlihat dari kepala naga yang menyimbolkan etnis Tionghoa, badan unta menyimbolkan Arab, dan kaki kambing menyimbolkan Jawa.

Kemudian prosesi inti dari Dugderan adalah penyerahan Suhuf Halaqoh dari alim ulama Masjid Kauman kepada Kanjeng Bupati Arya Purbaningrat. Suhuf Halaqof itu dibacakan, kemudian dilakukan pemukulan beduk disertai suara petasan meriam. Dua suara itulah yang menjadi cikal bakal nama acara Dugderan, yaitu ‘dug, dug, dug,’ suara beduk dan ‘der, der, der,’ suara meriam. (is)

Sharing:

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *