Jampidum Setujui 6 Pengajuan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
JAKARTA (Awal.id) Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Dr Fadil Zumhana menyetujui enam permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (Restorative Justice).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Dr Ketut Sumedana mengatakan enam perkara yang disetujui diselesaikan lewat keadilan restoratif, masing-masing tersangka Faisal H Umboh alias Ical, Yuanita alias Nita, Abdul Karim Mandjo alias Kai, Abu Salim Rumaf alias Buce, Alham Rumaf alias Alham dan Sahani bin Jantra.
Soal kasus yang melilit para tersangka, Ketut memaparklan Faisal H Umboh oleh Kejaksaan Negeri Halmahera Selatan yang disangka melanggar pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pasal 359 KUHP tentang Kelalaian.
Tersangka Yuanita alias Nita yang ditangani Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo tersandung pelangaran pasal 36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia atau pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
Sedangkan tersangka Abdul Karim Mandjo oleh Kejaksaan Negeri Boalemo yang disangka melanggar pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka Abu Salim Rumaf dan Alham Rumaf dipersangkakan Kejaksaan Negeri Tual telah melanggar pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Dan, terakhir tersangka Sahani bin Jantra diproses Kejaksaan Negeri Pandeglang karena disangka melanggar pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Ketut juga menyebutkan beberapa alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada enam tersangka tersebut.
Alasan itu, yakni telah dilaksanakan proses perdamaian di mana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf; tersangka belum pernah dihukum; tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana; ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
Selain itu, tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya; proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi; tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar; pertimbangan sosiologis; dan masyarakat merespon positif.
Selanjutnya, Jampidum memerintahkan kepada para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (*)