Tradisi Titiran di Kampung Batik, Mbak Ita: Bisa Jadi Daya Tarik Wisata Kota Semarang

SEMARANG (Awal.id) – Wakil Walikota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu mendukung pelaksanaan Tradisi Titiran. Apalagi, Tradisi Titiran yang digelar di Kampung Jadoel, Kampung Batik Tengah ini merupakan tradisi budaya untuk mengenang 76 tahun pembakaran Kampung Batik Semarang oleh Tentara Jepang.
“Ini sangat bagus dan keren sekali. Saya baru tahu ada Tradisi Titiran di Kota Semarang,” ujar Ita saat menghadiri acara Tradisi Titiran di Kampung Jadoel, Kampung Batik Tengah, Minggu (17/10).
Acara Tradisi Titiran diawali dengan kirab dan teatrikal warga sempat membuat Wakil Wali Kota Semarang yang akrab disapa Ita sempat terpukau. Ita yang baru mengetahui adanya sejarah memilukan di Kampung Batik saat masa kependudukan bala tentara Jepang di Kota Semarang.
Menurut Ita, atraksi seni budaya ini tentunya akan menambah daya tarik wisata Kampung Batik Semarang di Kampung Jadoel ini. Ke depan, pihaknya akan memfasilitasi adanya lapangan parkir yang representatif dengan memanfaatkan bekas lahan SMP 4 Semarang.
“Tradisi ini nantinya akan bisa menjadi daya tarik wisata Kampung Batik Semarang. Trus nanti Kalau banyak wisatawan ini datang, masyarakat yang ada di Kampung Jadoel bisa menjadi lebih sejahtera, ” paparnya.
Pada pagelaran Titiran tersebut, para pemain treatrikal mengenakan kostum jaman dulu, seperti pakaian tradisional Jawa, tentara Jepara, dan kostum tentara Indonesia. Kemeriahan acara itu semakin terasa dengan hadirnya barisan para warga yang membawa sebuah pintu kayu yang berlubang akibat tertembus peluru Jepang saat penyerangan.
Gentong Air
Sementara para ibu-ibu membawa gentong yang berisi air dari sumur warga. Atraksi teatrikal dimulai dengan sebuah replika bangunan rumah Kampung Batik yang diserbu, lalu dibakar oleh tentara Jepang. Para warga lalu bergotong-royong memadamkan api dengan air yang diambil dari sumur-sumur milik warga Kampun Batik.
Candra Adi Nigroho, warga asli Kampung Batik Rejomulyo, menjelaskan peristiwa pembakaran Kampung Batik terjadi pada hari ke empat Pertempuran Lima Hari di Semarang.
“Dalam sejarahnya, Kampung Batik Semarang saat itu menjadi bagian dalam siasat Pertempuran Lima Hari di Semarang. Saat itu, Jepang yang mengawasi kegiatan di Kampung Batik dari Gereja Gedangan, lalu menyerbu dan membakar rumah-rumah di Kampung Batik,” jelasnya.
Untuk menghalau bantuan rakyat sipil terhadap pasukan Merah Putih, Jepang menembaki rumah-rumah warga Kampung Batik hingga peluru yang yang terlontar menembus pintu-pintu rumah warga. Belum puas memuntahkan ratusan peluru ke rumah warga, tentara Jepang lantas membakar habis ratusan rumah yang ada di Kampung Batik.
Dua saksi bisu sejarah pengrusakan Kampung Batik 76 tahun lalu itu masih ada, yakni pintu yang tertembus peluru dan sumur, yang saat kini masih dimanfaatkan airnya oleh warga setempat.
“Tradisi Titiran ini sebagai mengingat sejarah dan kebangkitan pascapembakaran tentara Jepang bagi generasi,” kata Candra.
Menurut dia, Tradisi Titiran akan dijadikan agenda tahunan warga Kampung Batik sebagai salah satu upaya membangkitkan potensi wisata dan kegiatan seni yang dibuat masyarakat setempat.
“Dulu acara hanya digelar dengan sederhana, hanya berdoa bersama saja. Namun kali ini dibuat kreasi, ada unsur seni agar lebih menarik untuk ditonton,” paparnya. (is)