Angkat Budaya Karo, Hananingsih Widhiasri Terlibat dalam Penciptaan Sinematografi Tendi Karo Volkano di Sumatera Utara
by Redaksi · Published
SEMARANG (Awall.id) – Hananingsih Widhiasri, seorang seniman visual asal Wonogiri yang tergabung dalam Kolektif Hysteria Semarang, berpartisipasi dalam program Residensi Seniman di Medan, Sumatera Utara. Program residensi ini diselenggarakan oleh Teater Rumah Mata selama tiga minggu, mulai dari 20 Juli 2024 hingga 10 Agustus 2024.
Menurut Hananingsih, Tendi Karo Volkano adalah karya teater yang mengeksplorasi perjalanan mantra, menelusuri setiap perkembangan gerak dialektik dari akar hingga puncak pegunungan. Rute yang saling bersilangan menciptakan suasana sakral yang datang dari berbagai arah, melahirkan para Perlanja Sira yang memanfaatkan sungai sebagai jalur transportasi. Suara enam gunung menggema dalam mantra yang terus bergerak dari laut ke pegunungan, mencerminkan pertempuran peradaban selama berabad-abad.
Hananingsih menjelaskan bahwa teater perjalanan mantra ini menghadirkan tendi leluhur Karo ke dalam tubuh teater, memungkinkan peristiwa terjadi di antara hulu dan hilir. Dalam residensi ini, Hananingsih terlibat dalam produksi karya sinematografi bersama beberapa seniman lain dari berbagai daerah seperti S. Metron Masdison dari Padang, Syamsul Fajri dari Lombok, Lestari dari Yogyakarta, Rafika Ul Hidayati dari Pekanbaru, Rasyidin Wig Maroe dari Bireun, dan beberapa seniman asli Karo serta sekitar Sumatera Utara.
“Pertunjukannya nanti berjudul ‘The Last Sira’, di mana episode I mengiris Perlanja Sira, tokoh saudagar yang memiliki karakter diplomatis sebagai benang merah,” jelas Hananingsih Widhiasri.
Pertunjukan nanti akan berjudul ‘The Last Sira’, dengan episode pertama mengisahkan Perlanja Sira, seorang saudagar yang memiliki karakter diplomatis sebagai benang merah. Hana, sapaan akrab Hananingsih, menjelaskan bahwa Perlanja Sira adalah tokoh populer dari Karo yang dikenal sebagai pencari garam dan terasi. Karya ‘The Last Sira’ merupakan lanjutan dari karya-karya lain milik Teater Rumah Mata yang membahas hulu dan hilir Sumatera, seperti Mantra Bah Tuah, Arus Bayang, Batu yang Menggelinding ke Kepalaku, hingga Kisah-Kisah Tembikar dan Reproduksi Tanda.
Hana menekankan bahwa cerita Perlanja Sira tidak hanya tentang pencari garam dari gunung ke pesisir, tetapi juga sebagai negosiator yang berani menjelajahi ruang baru. Perlanja Sira digambarkan sebagai agen budaya yang membawa rumah adatnya ke laut dan memikul bahtera ke pegunungan, berperan sebagai ‘kompas’ untuk menelusuri jalur leluhur.
“Sebagai agen budaya yang melayarkan rumah adatnya ke lautan dan memikul bahtera ke pegunungan. Perlanja Sira diposisikan sebagai ‘kompas’, pembawa rute untuk menyusuri jalan leluhur,” jelas Hana.
“Dari akifer-akifer kita bisa menelaah tubuh Karo yang buka-tutup dan menelaah setiap rute yang dilewati,” lanjutnya.
Pertunjukan ‘The Last Sira’ akan digelar pada puncak residensi, yaitu Sabtu, 10 Agustus 2024, di Desa Semangat Gunung, Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.




















