Jampidum Kabulkan 6 Permohonan Keadilan Restoratif, 3 Ditolak
JAKARTA (Awal.id) – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Dr Fadil Zumhana menyetujui enam dari sembilan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Persetujuan diberikan Jampidum seusai ekspose yang dilakukan secara virtual. Hadir pada gelar perkara itu Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Agnes Triani SH MH, Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, Kepala Kejaksaan Tinggi, Kepala Kejaksaan Negeri yang mengajukan permohonan restorative justice serta Kasubdit dan Kasi Wilayah di Direktorat TP Oharda.
Adapun enam berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif adalah sebagai berikut:
- Tersangka Nurbaya Masang alias Baya dari Kejaksaan Negeri Maluku Barat Daya yang disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
- Tersangka Husni Thamrin bin Muhni dari Kejaksaan Negeri Pesawaran yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
- Tersangka Ermawati binti M Ali Ismail Dkk dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung yang disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
- Tersangka Latif Kuniyo alias PA Kuniyo dari Kejaksaan Negeri Maluku Tengah yang disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
- Tersangka Eldo Puji Saputra alias Eldo bin Heri Pujiono dari Kejaksaan Negeri Purwokerto yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
- Tersangka Daryanto ST bin Kasan dari Kejaksaan Negeri Kebumen yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Jampidum mengatakan alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini tersangka telah memenuhi persyaratan.
Persyaratan itu, yakni para tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana/belum pernah dihukum, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun, telah dilaksanakan proses perdamaian, di mana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
Kemudian, tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya, proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi.
Selain itu, tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar, pertimbangan sosiologis dan masyarakat merespon positif.
Adapun alasan lain pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan yakni:
- Dalam perkara tersangka Husni Thamrin bin Muhni. Tersangka melakukan pencurian dan menjual hasil curiannya yang nantinya akan digunakan oleh tersangka untuk pengobatan sakit stroke yang dideritanya ke Yogyakarta karena ditelantarkan oleh keluarganya.
- Dalam perkara tersangka Eldo Puji Saputro alias Eldo bin Heri Pujiono. Tersangka dan saksi korban adalah teman bermain/sahabat, dan tersangka melakukan pencurian handphone karena terdorong untuk melunasi utang yang digunakan untuk keperluan berobat istrinya.
Sementara berkas perkara atas nama tiga orang tersangka tidak dikabulkan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Permohonan yang ditolak, yakni:
- Tersangka Hermanto bin Sutarmin dari Kejaksaan Negeri Metro yang disangka melanggar Pasal 310 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
- Tersangka LA Yadi Buton aluas Yadi dari Kejaksaan Negeri Buru yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Pasal 310 Ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
- Tersangka Junaidi bin dari Kejaksaan Negeri Metro yang disangka melanggar Pasal 310 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Fadil mengatakan tidak dikabulkan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ketiga tersangka tersebut, karena perbuatan atau tindak pidana yang mereka lakukan bertentangan dengan nilai-nilai dasar sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Menyitir pernyataan Jampidum, Ketut mengatakan berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan memiliki kewenangan di dalam menghentikan perkara demi keadilan restoratif sebagaimana dalam UU menjelaskan kewenangan Jaksa dalam melaksanakan diskresi penuntutan (prosecutorial discretionary atau (opportuniteit beginselen) yang dilakukan dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat.
Menurutnya, nilai-nilai keadilan yang berlaku di masyarakat memiliki arti penting dalam rangka mengakomodasi perkembangan kebutuhan hukum dan rasa keadilan di masyarakat yang menuntut adanya perubahan paradigma penegakan hukum dari semata-mata mewujudkan keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif.
“Untuk itu, keberhasilan tugas Kejaksaan dalam melaksanakan penuntutan tidak hanya diukur dari banyaknya perkara yang dilimpahkan ke pengadilan, termasuk juga penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal sebagai implementasi dari keadilan restoratif yang menyeimbangkan antara kepastian hukum yang adil dan kemanfaatan,” ujar Fadil.
Jampidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif, sesuai Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (*)