Fakta! Seperti Halnya Matematika, Cinta Juga Butuh Logika

SEMARANG (Awal.id) – “Cinta itu bukan apa yang dipikirkan oleh akal, tapi cinta adalah apa yang dirasakan oleh hati,” begitu bunyi kutipan tak bertuan yang bertebaran di media sosial.

Itu merupakan satu di antara sekelumit kata-kata bijak yang begitu populer dan digandrungi banyak orang. Tidak sulit untuk bertemu orang yang meyakini bahwa cinta itu tidak logis dan perlu menuruti perasaannya saat menjalani hubungan.

Akibatnya, tidak heran semakin banyak tindakan di luar nalar yang terjadi atas nama cinta. Setiap harinya kita tidak pernah kekurangan berita soal orang-orang yang bertahan dalam hubungan abusive.

Mereka membantah segala masukan logis yang diberikan keluarga dan teman-temannya, lalu memilih ‘memeluk’ erat-erat segala kutipan sesat soal cinta yang hanya mengorbankan kesabaran dan semangat kobaran hati (dan jiwa!) demi cinta.

Rasanya, tidak berlebihan bila kita menganggap kisah percintaan tragis dan kriminalitas dalam rumah tangga adalah konsekuensi dari kesalahpahaman masyarakat dalam mengoperasikan cinta.

Sebenarnya cinta bisa dijelaskan secara keilmuan. Seperti yang dilakukan Profesor Stephanie Ortigue, dalam studinya berjudul The Neuroimaging of Love. Menunjukkan bahwa ketika orang jatuh cinta, 12 area di otak melepaskan hormon dopamin, testosteron dan estrogen, adrenalin, dan vasopresin yang membuatnya mengalami euforia kebahagiaan luar biasa.

Segala reaksi tubuh saat jatuh cinta seperti jantung yang berdegup kencang, perasaan tak menentu, penurunan nafsu makan, hingga selalu terbayang orang yang dia sukai berasal dari hasil kinerja otak. Segala perilaku aneh yang dialami orang jatuh cinta itu merupakan hasil gejolak hormonal dalam tubuh manusia.

Baca Juga:  BKBH FH USM Gelar Pelatihan Penyelesaian Sengketa Waris

Cinta (sebenarnya) adalah hasil manifestasi kinerja tubuh manusia yang bisa dipahami serta ditanggulangi secara logis. Itu sebabnya apa pun bentuk hubungan cinta (termasuk rumah tangga) pun perlu senantiasa dikelola dengan menggunakan logika, tidak bisa mengalir begitu saja sesuai perasaan.

Kekuatan Cinta

Memandang (hubungan) cinta sebagai perkara metafisik itu menggiring kita jadi tidak realistis, enggan mengaplikasikan common sense dan akal sehat.

Misalnya, seorang wanita memilih bertahan dengan suaminya yang toxic, karena berpikir kekuatan cintanya akan bisa menyadarkan pasangan.

Seorang pria memilih jadi kacung siaga serta donatur finansial demi mendekati dan membuat wanita idamannya jatuh cinta.

Sepasang suami-istri memilih menutupi berbagai masalah dan ketidakpuasan, agar tidak terjadi konflik yang berisiko mematikan cinta mereka.

Itu hanya secuil dari sekian banyak kesalahan orang yang membiarkan dirinya disetir oleh mabuk cinta. Itulah yang membangkitkan fenomena bucin, alias budak cinta.

“Tapi kalau sebenarnya cinta itu logis, kenapa kita biasanya jadi lumpuh dan bodoh saat jatuh cinta? Bukankah itu bukti bahwa cinta seharusnya tidak logis?” beberapa di antara anda mungkin bertanya-tanya begitu.

Baca Juga:  Jarang Diketahui, Ini 4 Fitur Tersembunyi Di Spotify

Dopamin

Salah satu jawabannya ada pada dopamin. Lonjakan dopamin saat jatuh cinta mengaktifkan sirkuit reward, yang menjadikan proses jatuh cinta terasa sangat menyenangkan, mirip seperti euforia yang dirasakan para pecandu kokain atau alkohol. Itulah sebabnya orang yang sedang jatuh cinta biasa disebut juga sedang dimabuk cinta. Faktanya, mereka memang benar-benar sedang ‘mabuk’.

Kalau ditelaah, cinta seolah harus berjalan di luar tatanan logika. Saat berurusan dengan cinta, seolah kita tidak perlu melibatkan kecerdasan dan pikiran kritis. “Kejarlah terus hingga dapat, korbankan seluruh tubuh dan jiwa, jadilah bucin sejati!” mungkin begitu yell-yell radikal para pejuang cinta.

Tapi ternyata kondisi memabukkan itu hanya terjadi di awal saja.

Bisa dibilang, itu semacam konspirasi sel-sel tubuh yang berusaha menjorokkan diri kita untuk segera bereproduksi. Itu sebabnya perasaan jatuh cinta tidak boleh sembarang diikuti begitu saja tanpa melibatkan logika.

Setelah jatuh cinta itu, anda perlu lebih banyak memaksakan diri menciptakan cinta di sepanjang hubungan, karena tubuh anda tidak otomatis menciptakannya lagi.

Menurut Dr Fred Nour, seorang neurologis dari California sekaligus penulis buku True Love: How Science to Understand Love, menyebut fase setelah jatuh cinta adalah evaluasi. Di fase ini anda mulai bisa melihat kenyataan dan wajib menggunakan akal sehat untuk bercinta.

Baca Juga:  11 Tahun Hilang, Wanita Ini Ditemukan 500 Meter dari Rumahnya

Anda perlu menilai apakah hubungan itu sehat atau tidak, apakah kalian cocok atau tidak. Anda dan pasangan perlu berhenti mengikuti perasaan dan mulai aktif melibatkan otak demi kelangsungan hubungan.

Setelah berada dalam hubungan, anda makin perlu mendasari segala keputusan berdasarkan logika. Semakin serius sebuah hubungan, semakin anda tidak membangunnya di atas perasaan.

Ada alasan-alasan logis yang mendasari setiap perilaku hidup sehari-hari itu, demikian juga setiap perilaku dalam pacaran dan rumah tangga, perlu bisa dipertanggungjawabkan secara logis. Otak adalah sosok penyelamat yang paling bisa melindungi hubungan dari kecelakaan, bahkan menyelamatkan anda dari hubungan yang toxic dan abusive.

Di era modern yang diwarnai dengan sebegitu banyak kisah perceraian, kekerasan, dan kehancuran rumah tangga, rasanya ceroboh dan angkuh sekali jika kita tidak mau melibatkan lebih banyak critical thinking dalam kehidupan percintaan.

Tidak hanya itu, menolak atau menutup mata pada sisi logis percintaan juga seperti tidak menghargai otak yang sudah dikaruniai oleh Tuhan.

Untuk apa anda diberikan kecerdasan berpikir bila semua itu diabaikan demi bisa menyesatkan diri dengan kutipan picisan yang tidak masuk akal?

Sharing:

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *