Gelar Workshop Penyusunan Rencana Aksi Desa/Kelurahan Damai dan Responsif Gender, WF Ceritakan Kisahnya

SEMARANG (Awal.id) – Wahid Foundation menggelar kegiatan workshop Penyusunan Rencana Aksi Desa/Kelurahan Damai dan Responsif Gender di Hotel Alila Solo pada Senin (29/5).

Dalam workshop tersebut, Sri Dewi Indrajati, Kepala Bidang Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan DP3A2KB Jateng yang hadir sebagai narasumber kemudian menyampaikan bahwa sebenarnya di setiap Kabupaten dan Kota, terutama di sekitar Solo Raya telah memiliki perangkat kerja pelayanan korban dan aduan kekerasan seksual.

“Namun yang perlu dikuatkan adalah kualitas SDM untuk peka terhadap pelayanan korban serta pemahaman masyarakat terkait UU TPKS,” ujar Sri.

Sri sendiri mengatakan pihaknya memang sedang menyerap masukan-masukan dari masyarakat untuk didalami dan usulkan ke pusat agar terbentuk peraturan pemerintah (PP) terkait UU TPKS.

Baca Juga:  Satgas SIRI Kejagung Berhasil Tangkap Buronan Firman Ageng Pamenang terkait Kasus Penipuan

“Maka kepekaan masyarakat penting untuk kami terima. Tentunya masyarakat yang faham dengan isu-isu kekerasan seksual,” ujarnya.

Sementara itu, Fanani selaku pelaksana workshop mengatakan peserta yang mengikuti acara tersebut berjumlah 104 orang dari 4 kabupaten dan kota yang terdiri dari unsur lurah/kades, bhabinkamtibmas- babinsa, WCC (Women Crisis Centre), Pemkot dan Pemkab, Polres dan kepala UPTF P2TP2A masing-masing daerah.

Fanani mengatakan penyusunan rencana strategi dan aksi ini diharapkan bisa menjadi salah satu media dalam proses integrasi antar multi pihak, baik dari unsur institusi atau organisasi yang berbasis masyarakat akar rumput.

“Jadi CSO/NGO, ataupun dari pemerintah secara struktural. Karena isu ini, sebagaimana isu lain, tentunya akan bisa diimplementasikan secara masif ketika diusung oleh multipihak tersebut,” urai Fanani.

Baca Juga:  Mahasiswa Unila Belajar Reformasi Birokrasi ke Ganjar

Fanani kemudian menjelaskan bahwa proses panjang yang sudah dilakukan Wahid Foundation dan Pemerintah Desa atau Kelurahan dalam program Desa Damai telah memberikan dampak, baik dalam konteks paradigma ataupun sikap dan perbuatan.

“Misal gaya becandaan yang mulai berubah, dan tidak lagi melihat tubuh perempuan sebagai obyek seksualitas belaka, ataupun malah sudah ada yg mulai turut speak up (sosialisasi) terkait isu-isu Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS),” ungkap Fanani.

Saat ditanya apakah ada kasus yang pernah ditangani atau aduan korban yang diselesaikan peserta, Fanani menjawab telah ada banyak pembelajaran yang telah dilakukan oleh tim Women Crissis Centre (WCC) di masing-masing desa dengan menyesuaikan dinamika d masing-masing desa tersebut.

Baca Juga:  DPUBMCK Jateng Lakukan Inspeksi, Pastikan Jalan Rusak Diperbaiki Sebelum Mudik Lebaran

“Misalnya ada WCC di desa Tingkir Salatiga yang kemudian menjadi wadah bagi korban KBG,” ungkap Fanani.

Pendampingan kasus tersebut, lanjut Fanani, berlanjut pada proses pengadilan dan menghasilkan keputusan hukum. Pada tahapan selanjutnya, Tim WCC ini juga berperan pada proses pemulihan psikis korban.

“Di desa lain, misalnya, ada peran pemantauan dari tim WCC terhadap kondisi korban dalam proses penanganan kasus KBG dan TPKS,” tutupnya.

Sharing:

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *